PEMBANGUNAN KAPASITAS PENANGGULANGAN BENCANA UNTUK PMI DAERAH BENGKULU DAN CABANG-CABANG DI DAERAH RAWAN BENCANA

Sabtu, 19 Desember 2009

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari kurang lebih 17.508 pulau. Hampir 60 persen dari 228 juta penduduknya tinggal di pulau Jawa yang padat penduduk dan menyimpan berbagai masalah sosial yang kompleks akibat adanya kesenjangan pendapatan yang terus meningkat.

Sementara itu, jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan disinyalir mencapai 40 juta orang[1]. Antara tahun 1995 sampai 1996 jumlah orang yang tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan naik dari 10,6% menjadi 21,6%. Ketimpangan distribusi pendapatan merupakan kekhawatiran yang terus dirasakan dimana belanja 10% penduduk terkaya di Indonesia mencapai 30% total belanja negara tersebut, sementara 10% penduduk termiskin hanya mencapai 3,6% (1996). Kerentanan yang diakibatkan oleh kemiskinan juga terus meningkat. Angka persentase pengangguran tergolong tinggi (38%) sementara rata-rata upah tetap rendah pada kisaran US$33 per bulan. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk 1,4% per tahun[2], sebagian penduduk terpaksa harus menempati lokasi-lokasi yang tidak aman, seperti daerah yang terlalu dekat dengan pantai, daerah rawan tanah longsor, dan daerah yang rawan terhadap berbagai bahaya geologis seperti gempa bumi dan tsunami.

Perubahan iklim semakin menambah kerentanan dengan semakin sering terjadinya kondisi cuaca ekstrim yang susah diprediksi. Pada tahun 2003-2005 bencana terkait cuaca-hidrologi—seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan badai tropis—terjadi sebanyak 1.429 kali atau 53,3% dari total jumlah bencana yang terjadi[3].

Jumlah orang yang terkena dampak bencana alam dan bahaya-bahaya lain semakin meningkat. Peningkatan ini tentu saja sangat erat kaitannya dengan pertambahan penduduk yang mencapai 5 juta orang per tahun. Selain itu, Indonesia terletak di atas ‘Lingkaran Api’ sehingga sangat rawan terhadap bahaya gempa bumi dan letusan gunung berapi serta tsunami, banjir, tanah longsor, dan kekeringan parah.[4]

Namun demikian, jumlah korban bencana semakin menurun berkat pendekatan Penanggulangan Bencana yang lebih baik. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sebelumnya Badan Koordinasi Nasional (BAKORNAS), mengemban mandat untuk memberikan panduan dan mengawasi penanggulangan bencana, seperti pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi serta membantu BAPPENAS dalam merumuskan rencana penanggulangan bencana nasional.

Menurut Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework of Action) 2005, Pemerintah Indonesia telah meluncurkan Rencana Tindak Nasional Pengurangan Risiko Bencana 2006-2009 yang ditetapkan pada bulan Januari 2007. Rencana tindak tersebut merinci rangkaian peran PMI, termasuk dalam kaitannya dengan pembangunan kerangka Pengurangan Risiko Berbasis Masyarakat (CBRR). Platform Strategi Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana telah dilaksanakan di Indonesia. GRC telah berperan secara aktif dalam proses persiapan dan fasilitasi pendirian Forum Pengurangan Risiko Bencana yang beranggotakan berbagai LSM.

SATKORLAK (Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penanggulangan Bencana Dan Pengungsi) pada tingkat propinsi dan level SATLAK (Satuan Pelaksana Penanggulanan Bancana Dan Pengungsi) pada tingkat kabupaten adalah dua instansi pemerintah yang masuk ke dalam Badan Daerah Penanggulangan Bencana. Kedua unit tersebut masing-masing diketuai oleh gubernur pada tingkat propinsi dan bupati pada tingkat kabupaten. SATGAS (Satuan Tugas) adalah unit darurat tingkat kecamatan yang, bersama BDPB seringkali menjadi unit pelaksana dan koordinasi di saat terjadi bencana. Sedangkan pada tingkat kelompok masyarakat, upaya bantuan dikoordinasikan oleh kepala daerah dan tokoh masyarakat (misalnya anggota dewan sekolah).

UU Penanggulangan Bencana yang baru ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 April 2007. PMI dan IFRC turut memberikan sumbangan pemikiran terhadap penyusunan peraturan perundangan tersebut dan sering diundang untuk menghadiri rapat pembahasan dengan Pemerintah Indonesia dalam rangka menegaskan peran PMI di dalam operasi bantuan bencana dan struktur kesiapsiagaan bencana pemerintah.

Tujuan dari UU Penanggulangan Bencana tersebut adalah untuk merubah paradigma dari ‘tanggap darurat’ menuju ‘manajemen risiko’. Pergeseran paradigma ini mendorong adanya perubahan yang radikal pada cara pandang dan perilaku pemerintah. UU tersebut juga menyatakan bahwa Penanggulangan Bencana harus menjadi bagian dari pengetahuan, administrasi, dan ranah publik. UU tersebut juga mengamanatkan agar setiap sekolah wajib memperkenalkan penanggulangan bencana kepada siswa sejak usia dini. Sebagai tambahan, Departemen Pendidikan Nasional tengah menjalan program untuk meningkatkan kesadaran siswa sekolah akan bencana dan kesiapsiagaan dengan menggunakan pendekatan individual touch, master learning, dan smart learning. Sejauh ini Departemen Pendidikan Nasional telah merancang kurikulum berbasis kompetensi yang memungkinkan para guru untuk mengintegrasikan penanggulangan bencana ke dalam materi ajar.

Sementara itu, beberapa proyek terkait pendidikan bencana telah mulai dilaksanakan oleh instansi pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), LSM internasional, dan badan-badan PBB. Sebuah forum bernama Konsorsium Pendidikan Bencana (CDE) dibentuk pada tingkat nasional untuk menjaga kelanjutan upaya-paya tersebut sekaligus sebagai ajang tukar pengalaman. Melalui divisi Pemuda-nya, PMI merupakan anggota aktif konsorsium tersebut.[5] Kerjasama Teknis Jerman (GTZ) telah melaksanakan sebuah Proyek Jerman-Indonesia yang menangani Kesiapsiagaan Bencana di Sekolah Dasar (DAPS) selama tiga tahun belakangan ini dan menyumbangkan materi pembelajaran dan pengalaman yang berharga[6]. GRC memiki kesepakatan dengan GTZ untuk secara rutin berbagi pengetahuan terkait proyek DAPS dengan pihak-pihak lain.


--------------------------------------------------------------------------------

[1] World Bank Data and Statistics, Indikator Sosial Indonesia 1990-2005

[2] World Bank Data and Statistics, Indikator Pembangunan Indonesia 2005

[3]Bakornas PB, 2006

[4]Lihat ANNEX 1 – INDONESIA RISK MAPS, OCHA March 2008: Earthquakes 2007-2008 / Tectonic Plaques / Earthquakes Intensity Zones / Droughts 1080-2001 / Flooding 1985-2005 / Tsunamis 1618-2006 / Volcanic Explosivity / Wildfires 1997-2005 / Provinces and Districts.

[5] Anggota Konsorsium Pendidikan Bencana (CDE), Maret 2008: Action Contre la Faim, ASB, Church World Service Indonesian Institute for Disaster Preparedness - IIDP, Islamic Relief Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - LIPI, Masyarakat Peduli Bencana Indonesia - MPBI, Muhammadiyah Disaster Management Centre - MDMC, Perkumpulan Lingkar, Plan International, Palang Merah Indonesia - PMI, Perkumpulan Masyarakat Peduli Bencana NTT, Prakarsa Bagi Masyarakat Mandiri - PRIMARI Papua, Yayasan Tanggul Bencana Indonesia - YTBI,World Vision International and United Nations agencies (UN/OCHA, UNDP, UNESCO, UNFPA, WHO).

[6] Materi pelatihan dan pengajaran disusun oleh GTZ (Disaster Awareness in Primary Schools), ASB (Disabled children), PMI (DP in schools) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – LIPI,Institute Teknologi Bandung / Pusat Mitigasi Bencana - PMB, Masyarakat Peduli Bencana Indonesia - MPBI, MuhammdiyahDisaster Management Centre - MDMC, NahdlatulUlama (CBDRM), YayasanTanggulBencanaIndonesia - YTBI.


Dikutip dari : PROPOSAL PEMBANGUNAN KAPASITAS PENANGGULANGAN BENCANA UNTUK PMI DAERAH BENGKULU DAN CABANG-CABANG DI DAERAH RAWAN BENCANA KERJASAMA PMI DENGAN PALANG MERAH JERMAN, Bagian: Latar Belakang / Proyek dalam konteks nasional

0 komentar:

Posting Komentar

Ingin berlangganan artikel? Silahkan masukkan alamat E-mail Anda:

Delivered by FeedBurner